Oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Bagaimana OJK seharusnya bertindak ketika pemerintah berlari kencang mewujudkan Astacita—delapan misi besar pembangunan lima tahun—sementara pasar keuangan menuntut kepastian, integritas, dan perlindungan konsumen?
Pertanyaan itu kian relevan setelah pemerintah menempatkan ratusan triliun rupiah dana negara di bank-bank milik negara untuk mempercepat transmisi pembiayaan ke sektor riil.

Skema ini berbentuk deposit on call yang dimaksudkan mendorong kredit, bukan membeli surat berharga negara.
Jika dirancang benar, ia menjadi akselerator pertumbuhan; jika salah kelola, ia menumpuk risiko pada neraca bank dan mengikis kepercayaan publik.
Di sinilah OJK diuji: menjadi mitra kebijakan yang progresif, tetapi tetap pengawas yang tegas.
Masalahnya terang sekaligus kompleks.
Pertama, additionality: apakah likuiditas negara sungguh melahirkan kredit baru di atas tren normal, atau sekadar menggantikan sumber pendanaan yang sudah ada?
Kedua, allocation: apakah kredit benar-benar mengalir ke sektor prioritas Astacita—UMKM, pangan, perumahan, manufaktur—bukan ke konsumsi yang volatil?
Ketiga, transmission: apakah biaya dana yang murah itu berubah menjadi bunga efektif yang lebih rendah dan tenor yang lebih panjang bagi debitur produktif, bukan sekadar memperbaiki marjin bank?
Angka penyaluran bisa tampak mengesankan, tetapi baru berarti jika kualitas dan arah kreditnya tepat.
Di titik inilah tata kelola pengawasan OJK menentukan hasil akhirnya.
Analogi sederhana membantu melihat perannya.
Bayangkan sistem keuangan sebagai pelabuhan yang sibuk.
Pemerintah memperlebar alur dan menambah dermaga—kebijakan fiskal dan likuiditas. Bank adalah kapal-kapal niaga—kredit—yang siap mengangkut barang.
OJK adalah menara suar: tidak ikut mengemudikan kapal, tetapi menentukan batas aman, tata lampu, dan sirene peringatan.
Menara suar yang terlalu dekat ke dermaga mudah tergoda mengatur hal-hal operasional; terlalu jauh, ia tak melihat gelombang.
Jawabannya bukan “ikut mengemudi” atau “berdiri pasif”, melainkan kolaboratif namun independen—bekerja bersama pemerintah untuk tujuan makro, sekaligus menjaga jarak profesional saat menilai risiko dan menegakkan aturan.
Model indepensi kolaboratif ini membutuhkan tiga prasyarat yang jelas.
Pertama, kejelasan aturan main atau rule clarity.
OJK bersama otoritas lain harus menetapkan pagar pengaman atas asal-usul, tujuan, dan metode pengukuran dampak penempatan dana: berapa persen kredit yang benar-benar tambahan, ke sektor apa, pada bunga berapa, serta bagaimana kualitas awalnya dalam tiga hingga enam bulan pertama.
Laporan berkala yang ringkas namun dapat diaudit akan mengikat disiplin tanpa menambah beban birokrasi.
Kedua, otot pengawasan atau supervision muscle. Penguatan mikroprudensial berbasis teknologi pengawasan (suptech) penting untuk mendeteksi konsentrasi risiko sektoral, perilaku evergreening dini, dan penyaluran kredit yang bergeser dari mandat produktif.
Ini perlu ditopang stress test tematik pada skenario kenaikan kredit bermasalah dan perubahan suku bunga. Ketiga, sinyal publik atau public signaling.
Komunikasi yang konsisten, berbasis data, memastikan pasar memahami bahwa injeksi likuiditas bersifat sementara, terukur, dan berorientasi produktif—bukan “normal baru”.
Kerangka hukumnya tersedia. Reformasi sektor keuangan telah mempertegas mandat OJK pada pengaturan dan pengawasan lintas sektor—perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan, asuransi, hingga aset keuangan digital.
Di area inovasi, pengaturan tentang sandbox dan aset digital memberi jalur uji yang jelas: inovasi boleh melaju, tetapi harus berada dalam perimeter risiko yang terukur agar tidak menjadi jalan pintas arbitrase regulasi.
Pada level koordinasi, Komite Stabilitas Sistem Keuangan tetap menjadi forum kunci yang mempertemukan kebijakan fiskal, moneter, pengawasan, dan penjaminan simpanan.
Kolaborasi kebijakan terjadi di sini; independensi penilaian risiko dan penegakan sanksi adalah ranah OJK.
Apa keputusan yang perlu diambil sekarang?
Pertama, tetapkan sunset clause dan rencana keluar yang tegas untuk skema penempatan dana.
Likuiditas negara tidak boleh menjadi penyangga permanen model bisnis bank.
Kedua, buat koridor alokasi kredit produktif yang selaras Astacita, dengan ruang toleransi mengikuti siklus, namun disertai penyangga modal yang bersifat kontra-siklus ketika terlihat penumpukan eksposur sektoral.
Ketiga, terapkan public scorecard triwulanan yang mudah dipahami publik: tingkat additionality kredit, mutu awal kredit (melalui pengamatan vintage kredit pada bulan-bulan pertama), dan keadilan harga (selisih bunga terhadap biaya dana yang pada akhirnya ditanggung negara).
Tiga metrik sederhana ini cukup untuk menilai apakah penempatan dana benar-benar bekerja dan memberi sinyal dini bila terjadi penyimpangan.
Pada akhirnya, Astacita adalah kompas arah; pasar keuangan adalah lautan yang harus dilayari dengan kehati-hatian.
Makna Kolaboratif Independen
OJK perlu menjadi jangkar kepercayaan: mitra yang kooperatif dalam desain—sebab stabilitas finansial adalah barang publik yang diciptakan lintas otoritas—namun pengawas yang independen dalam keputusan—cukup berani berkata “tidak” ketika stabilitas terancam, dan “ya, dengan syarat” ketika inovasi menawarkan manfaat lebih besar daripada risikonya.
Dengan begitu, penempatan dana skala besar, pendalaman pasar uang, hingga transformasi digital keuangan dapat menjadi batu loncatan menuju sistem yang inklusif, efisien, dan tahan guncangan, bukan sumber kerentanan baru.
Itulah makna indepensi kolaboratif: berjalan beriringan dengan pemerintah, tetapi selalu memegang kompas prudensi yang tak bisa dinegosiasikan.
End











